SURABAYA, memo-pagi.com – Universitas Hang Tuah Surabaya menggelar seminar nasional dalam rangka peringatan 68 Tahun Deklarasi Djuanda dan Hari Nusantara tahun 2025 di Auditorium UHT Surabaya, Kamis (11/12/2025). Seminar Nasional dengan tema “Menegakkan Kedaulatan Hukum Laut Indonesia: Refleksi 68 Tahun Deklarasi Djuanda” ini menghadirkan para narasumber yang mumpuni di bidang pertahanan, maritim, dan hukum nasional. Antara lain Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio, S.I.P., M.M., Penasehat Khusus Mendikbudristek (Refleksi Deklarasi Djuanda dalam Perspektif Geopolitik). Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Iwan Isnurwanto, S.H., M.A.P., M.Tr.Han., Wakil Rektor II UHT (Refleksi dari Perspektif Keamanan Laut), serta Prof. Dhiana Puspitawati, S.H., LL.M., Ph.D., Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Refleksi dari Perspektif Pembangunan Hukum Nasional).
Dalam seminar Nasional ini juga dihadiri oleh Kepala Staf Komando Armada II (Kaskoarmada II) Laksma TNI Agam Endrasmoro, Inspektur Puspenerbal, Laksma TNl Johannes Tambunan bersama beberapa perwira menengah Puspenerbal.
Kepada awak media, Penasehat Khusus Mendikbudristek, Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio, S.I.P., M.M. mengatakan pahlawan Juanda ini jadi inspirasi bagi Bangsa Indonesia untuk menjadi negara maritim besar di masa depan dengan adanya Deklarasi Juanda.
“Saya sangat mengapresiasi langkah cerdas Rektor UHT yang menyatakan bahwa Deklarasi Juanda itu final, ” ungkap mantan Kasal ini.
Laksamana TNI (Purn) Prof Dr. marsetio ini menambahkan yang harus dilakukan adalah bagaimana generasi saat ini untuk merefleksikan Deklarasi Juanda baik dari sisi hukum, dari sisi geopolitik, dari sisi ekonomi di era sekarang ini.
“Bagaimana Deklarasi Juanda ini juga telah menjadi dasar bagi pemerintah dalam menyusun Asta Cita. Dengan begitu Deklarasi Juanda ini sudah final dan menjadi pegangan. Itulah mengapa Deklarasi Juanda ini diperingati tiap tahun bahkan ada refleksi apa-apa yang sudah laksanakan, apa saja yang belum dilaksanakan.
Sebelumnya dalam sambutannya, Rektor UHT Laksda TNI (Purn) Dr. Ir. Avando Bastari, M.Phil., M.Tr.Opsla., IPM., ASEAN.Eng. mengatakan peringatan 68 Tahun Deklarasi Juanda ini bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi ajakan reflektif bagi kita semua untuk menegaskan kembali jati diri Indonesia sebagai negara bahari yang berdaulat, adil, dan makmur.
Pada tanggal 13 Desember 1957, seorang negarawan besar Indonesia bernama Ir. Djuanda Kartawidjaja menegaskan kepada dunia bahwa laut di antara dan di sekitar pulau-pulau Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Inilah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, sebuah pernyataan monumental yang mengubah cara dunia memandang Indonesia sebagai negara kepulauan,” ungkap Laksda TNI (Purn) Dr. Ir. Avando Bastari.
Deklarasi Djuanda, sambungnya, bukan sekadar dokumen politik, melainkan manifesto kedaulatan, pernyataan identitas, dan fondasi geopolitik Indonesia modern. Deklarasi ini mengubah pandangan dunia tentang hukum laut bahwa laut bukan lagi pemisah, melainkan penghubung antar pulau, antar budaya, dan antar kepentingan nasional.
Rektor UHT menambahkan butuh waktu 25 tahun bagi dunia internasional untuk mengakui kebenaran itu, hingga akhirnya pada tahun 1982, melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) yang dicetuskan oleh Indonesia, diterima dan diakui secara universal.
“Pertanyaannya kini, setelah 68 tahun berlalu, apakah semangat Djuanda masih hidup di dada kita? Apakah kedaulatan hukum laut Indonesia masih seteguh dulu, di tengah dinamika geopolitik, konflik ZEE, dan eksploitasi sumber daya maritim oleh kekuatan global?, “tanyanya.
Saat ini, tuturnya, kita hidup di era yang sangat berbeda dengan masa Djuanda. Kini, laut tidak hanya menjadi arena ekonomi dan militer, tetapi juga menjadi ruang digital dan ekologis yang kompleks. Ancaman tidak hanya datang dari kapal perang atau nelayan asing, tetapi juga dari kejahatan siber maritim, eksploitasi ilegal lintas batas, hingga kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim global.
Rektor UHT juga menuturkan Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang semakin multidimensi, diantaranya adanya pelanggaran wilayah ZEE oleh kapal asing di Natuna Utara, overfishing dan pencurian kekayaan laut (baik secara illegal, unreported, and unregulated fishing), tumpang tindih regulasi dan lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum laut, serta ketimpangan pemanfaatan teknologi kelautan antara pusat dan daerah.
“Oleh karena itu, meneguhkan kedaulatan hukum laut bukan lagi semata soal pertahanan dan diplomasi, tetapi juga soal tata kelola hukum yang adaptif, sinergi lintas sektor, dan transformasi digital dalam pengawasan maritim,” tegasnya.
Sebagai universitas yang bercirikan kelautan, Imbuhnya, Universitas Hang Tuah berkomitmen untuk terus melahirkan gagasan-gagasan, riset berbasis ilmu kelautan yang relevan dengan tantangan zaman. Universitas Hang Tuah juga memiliki tanggung jawab intelektual dan moral untuk berada di garis depan dalam membangun kesadaran hukum laut nasional.
“Melalui seminar nasional ini, saya berharap akan lahir rekomendasi konkret dan strategis yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan negara di bidang kelautan dan kemaritiman,” harapnya.
Antara lain, imbuhnya, penguatan harmonisasi hukum nasional dengan hukum laut internasional, khususnya dalam implementasi UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;, peningkatan kapasitas penegakan hukum laut melalui kolaborasi antar lembaga, baik sipil maupun milite, Integrasi teknologi digital dalam diplomasi dan pengawasan wilayah laut; serta pembentukan pusat kajian kelautan dan kemaritiman di lingkungan Universitas Hang Tuah sebagai kontribusi nyata akademisi untuk bangsa.
“Kedaulatan laut bukan sekadar kedaulatan teritorial. Ia adalah simbol kehormatan dan martabat bangsa. Jika laut kita dijaga, maka eksistensi kita sebagai bangsa bahari akan tetap tegak. Namun bila laut kita diabaikan, maka hilanglah satu identitas fundamental dari jati diri Indonesia, ” pungkasnya.
(Wie)